MENJADI MUSLIM YANG SOSIALIS
Hati saya akan sedikit ‘tersentil’ dengan tulisan saudara Rudy Gani yang mengajak kita menjadi kapitalis yang islami. Tidak salah bagi saudara Rudy untuk mengutarakan pendapatnya terkait sikap orang Muslim terhadap ekonomi dalam perspektif “Kanan”. Tapi, tidak afdol rasanya bagi saya sebagai penulis untuk tidak memberi sedikit tanggapan dalam perspektif yang agak “Kiri”.
Ada beberapa hal yang bagi penulis secara pribadi perlu diluruskan. Berbeda dengan pendapat saudara Rudy yang mengajak saudara-saudara Muslim untuk menjadi kapitalis yang islami, penulis berusaha mengajak pembaca sekalian untuk menjadi Muslim yang sosialis, bukan sosialis yang islami. Penulis merasa adalah kewajiban sebagai seorang Muslim untuk menjadi sosialis dan bukan sebaliknya.
Pertama, Islam bukan agama kaum pedagang. Nabi Muhammad juga bukan seorang pedagang. Ada dua babak berbeda dalam kehidupan seorang Muhammad sebelum dan sesudah turunnya wahyu.
Betul jika Anda berkata bahwa Muhammad adalah seorang pedagang. Tapi, setelah menjadi Nabi, identitas pedagang itu lepas. Muhammad tidak melakukan perdagangan secara pribadi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasulullah. Islam adalah agama semua kelas, bukan milik pedagang saja.
Ketika Muhammad melakukan dakwahnya, beliau adalah seorang Nabi, bukan seorang pedagang. Tidak ada campur-aduk antara kepentingan agama dan kepentingan komersial.
Betul jika Nabi Muhammad tidak melarang kapitalisme. Malahan, Nabi Muhammad berusaha untuk memperbaiki praktik berjualan para pedagang Quraisy yang tidak jujur. Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sedang mengalami kemorosotan moral.
Salah satu bentuk kemerosotan itu ada dalam praktik kapitalisme para petinggi suku Quraisy. Perlu dicatat jika Makkah saat itu sudah menjadi tempat lalu lalang para peziarah dan pedagang Quraisy memanfaatkan keadaan itu untuk berbisnis. Ketika Islam hadir untuk menghancurkan praktik paganisme di sekitar Ka’bah, pedagang Quraisy tahu usaha itu akan mengurangi jumlah peziarah. Inilah konflik pertama dalam sejarah antara Islam dan kapitalisme.
Kedua, tidak hanya Islam yang merupakan etika, sosialisme pun juga sebuah etika. Penulis sebelumnya pernah menulis tentang peran sosialisme sebagai suatu etika dalam ekonomi. Penulis sepakat jika memang kapitalisme memerlukan etika. Tanpa etika, kapitalisme akan menjadi brutal dan tak terkendali.
Etika yang di sini tidak hanya mengenai bagaimana berdagang, tapi juga bagaimana kita menggunakan laba kita untuk kebaikan. Dalam Islam, kita mengenal kewajiban untuk berzakat dan bersedekah. Suatu kewajiban yang menunjukkan Islam memiliki segi tanggung jawab sosial, seperti halnya konsep berderma dalam agama-agama lain.
Di sinilah kita melihat Islam berperan sebagai suatu ajaran yang menekankan kepada tanggung jawab sosial dibandingkan pencarian keuntungan.
Kapitalisme, apa pun bentuknya, akan selalu berpusat kepada soal modal, untung dan rugi. Menjalankan kapitalisme bagi seorang Muslim tidak berarti menjalankan keislamannya.
Jika seseorang adalah pedagang kemudian dia rajin berderma dan membantu yang tidak mampu, di situlah dia menjalankan tugasnya sebagai seorang Muslim. Karenanya, tidak ada kapitalis yang Islami. Yang ada ialah Muslim yang sosialis, karena sebagai Muslim kita harus berbagi kepada sesama.
Ketiga, Islam pasar hanyalah suatu pragmatisme dalam kapitalisme. Alih-alih mengamalkan nilai Islam, menggunakan Islam dalam praktik berdagang, bukan pada permaknaannya, hanya akan menjadi agama sebagai alat.
Renungkan kembali kata-kata Marx yang terkenal jika “agama adalah candu”. Merenungi nilai Islam dalam berdagang secara individual adalah mungkin, namun ketika Islam menjadi komoditas (lihat bagaimana ada beberapa ustadz yang melakukan praktik investasi berlapis dakwah), Islam hanya akan jadi identitas belaka.
Islam dalam kelahirannya adalah suatu agama pembebasan (tahrir) bagi keadaan masyarakat Arab yang degradatif. Nabi memimpin suatu gerakan yang berusaha memperbaiki masyarakatnya secara politik, ekonomi, sosial dan moral.
Gerakan itu nyata, tidak hanya gagasan. Ketika Islam hanya dipersempit dalam gagasan semata, bahwa kita harus berderma tapi dalam praktiknya kita masih jauh dari memperbaiki keadaan masyarakat baik yang Muslim dan non-Muslim secara nyata, di situlah Islam menjadi tumpul.
Keempat, surga dunia itu utopia. Islam benar, bahwa surga itu hanya ada di akhirat. Tidak ada dan tidak akan ada surga di dunia. Secara realistis kita tidak mungkin membangun surga di dunia. Seberapa kerasnya kita memimpikan masyarakat yang ideal di dunia ini, kita tidak mungkin mewujudkannya. Jikapun mungkin, tak akan utuh sempurna realisasinya. Pasti ada cela di mana-mana.
Hidup di dunia itu hakikatnya adalah berdialektika, hidup antara nilai-nilai yang saling bertentangan. Karena pertentangan itulah semuanya harus berjuang untuk hidup. Tidak bisa suatu umat untuk memperbaiki keadaannya tanpa kehendak dari umat itu sendiri.
Islam tidak akan membawa surga apapun ke dunia. Keinginannya itu hanya akan jadi sebatas mimpi para kapitalis-kapitalis besar, kontraskan dengan pemilik modal kecil seperti pemilik warung, pedagang asongan, dan sebagainya yang harus berjuang hari-hari.
Tapi, Islam jelas mengajarkan kita melawan kebathilan salah satunya dalam perihal ekonomi. Kita diajarkan untuk melawan ketidakadilan yang terus berakar di dunia ini dengan tujuan yang baik dan cara-cara yang baik pula.
Keinginan untuk merasakan surga dunia bagi para kapitalis yang saudara katakan Islami itu hanya akan menghasilkan perilaku yang tidak Islami. Jika kita adalah seorang Muslim, maka kepentingan saudara kita baik yang sebangsa atau seagama datang pertama.
Jika saudara memang benar seorang kapitalis yang islami, maka ada hal yang perlu penulis tanyakan: beranikah saudara yang ingin menjadi kapitalis yang islami untuk meneladani Nabi Muhammad yang melepaskan kenikmatan dunia untuk membaktikan dirinya demi umat manusia secara keseluruhan?
Menjadi Muslim yang sepenuhnya memiliki tanggung jawab yang besar kepada masyarakatnya. Tidak usah heran jika beberapa tokoh pergerakan nasional kita seperti H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Agus Salim, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sjafruddin Prawiranegara, dll. begitu antusiasnya menggabungkan ajaran Islam dan sosialisme (dengan S besar). Menjadi Muslim bagi mereka berarti juga menjadi sosialis. Itulah khittahnya.
Post a Comment