Ad Code

TUHAN DALAM AGAMA


Kita sering mencela masa lalu; kita tidak menyadari bahwa kita adalah produk masa lalu. Kemajuan apa pun, itu berawal dari apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu kita.
St. Hieronimus atau yang lebih dikenal dengan nama Yerome, pujangga gereja pada masa Paus Damasus (366-384), menerjemahkan alkitab dari bahasa Yunani dan Ibrani ke dalam bahasa latin (vulgate). Yang akhirnya dapat dibaca sekarang, bukan hanya oleh orang katolik, tapi juga oleh sebagian besar denominasi yang mengaku Kristen.
Meskipun tidak sehebat pada masa awal euphoria reformasi gereja, kita menyadari bahwa ketidaksenangan kaum protestan terhadap gereja universal. Begitu juga sebaliknya; ibarat api dalam sekam-kelihatannya tinggal asap yang segera hilang padahal panas di dalam.
Orang protestan menyerang ajaran gereja dengan menggunakan terjemahan alkitab yang justru diterjemahkan oleh para bapa gereja. Ibarat seorang anak yang memakan makanan buatan ibunya, kemudian mengkritik sang ibu sambil tetap hidup dari makanan pemberian sang ibu.
Kita tidak mungkin bersatu secara institusi, namun toleransi itu penting. Kita tidak perlu lagi memperdebatkan siapa yang paling benar. Perbedaan adalah sifat yang universal dalam diri manusia ciptaan Tuhan.
Sejarah mencatat bahwa peradaban dibangun dan dihancurkan di atas perbedaan. Namun, yang sangat menyedihkan, bangsa bangkit melawan bangsa meskipun memeluk agama yang sama. Apakah kita patut mempertanyakan keberadaan Tuhan di saat perang dunia I dan II serta perang-perang lain yang mewarnai sejarah dunia sampai sekarang?
Tuhan itu universal dan Ia tak pernah menginginkan peperangan. Manusia saja yang memang keras tengkuk ingin melampiaskan nafsu buasnya sebagai homo homini lupus.Namun, bagaimana dengan kisah-kisah di perjanjian lama dalam alkitab yang mengisahkan tentang perang bangsa Israel dengan bangsa-bangsa kafir di sekitarnya yang mendapat ‘restu’ dari Tuhan?
Konsep ‘perang’ yang seperti inilah yang mungkin menjadi dasar beberapa pejuang-pejuang ‘kebenaran’ dan para pembela ‘Tuhan’ melancarkan aksi kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap kafir dan melenceng dari jalan Allah. Apa pun alasannya, yang jelas, dunia telah terbagi dalam berbagai bentuk kerajaan, bangsa, serta agama yang menjadi panutan serta hidup matinya seseorang yang percaya akan ajaran-ajaran iman yang diberikan kepadanya.
Kekerasan atas dasar keyakinan mungkin jauh lebih mewabah dari pada kekerasan berlatar belakang etnis dan politik. Isu agama jauh lebih cepat diangkat untuk diperdebatkan, bahkan sampai dipertahankan mati-matian dengan cara kekerasan.
Roger Shinn, seorang professor etika sosial dari Union Theological Seminary, New York, pernah berkata:
Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang memperebutkan daerah untuk alasan ekonomi, mereka akan mungkin menemukan kompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap suatu kejahatan.
Sejarah agama memang penuh kekerasan. Namun, sekali lagi, di manakah Tuhan? Dan apakah Ia yang harus bertanggung jawab atas segala kekacauan kemanusiaan sepanjang sejarah?
Terlepas dari sejarah kelam tersebut, kita harus mengakui bahwa usia agama dalam sejarah sama dengan usia peradaban manusia. Jadi, agama memang punya peran dalam jatuh-bangunnya peradaban. Agama selalu ada dalam sejarah manusia. Apakah sejarah itu baik atau buruk; agama akan selalu mengambil bagian.
Karena sejatinya manusia memerlukan apa yang ia namakan spiritualitas-komunikasi dengan pribadi yang transenden yang dapat memuaskan batinnya sebelum membuat sebuah keputusan. The New Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa “sejauh yang telah ditemukan para sarjana, tidak pernah ada orang, di mana pun, kapan pun, yang sama sekali tidak religius.”
Namun, apakah kita akan menyimpulkan bahwa setiap keputusan yang mengakibatkan penderitaan manusia adalah atas izin dari Tuhan? Manusia perlu kembali menggali relung hatinya yang paling dalam untuk menemukan jawabannya. Mungkin kebingungan-kebingungan seperti ini yang dijadikan celah oleh kaum agnostik untuk meragukan keberadaan agama sebagai jalan kebenaran.
Keraguan seperti inilah yang melahirkan kaum atheis yang akhirnya menyimpulkan bahwa agama adalah candu masyarakat dan lebih parah lagi slogan ‘Tuhan sudah mati’ menjadi adagium tersendiri dari para filsuf dan ahli ilmu pengetahuan yang mulai menggantikan Tuhan yang abstrak menjadi Tuhan yang mereka ciptakan sendiri.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Voltaire, “Jika Allah tidak ada, kita perlu menciptakan dia.” Ya, mereka telah menciptakan ‘allah’ baru. yakni ‘Sains’.
Kita tak bisa mengelak kalau skeptisme ilmu pengetahuan terhadap agama tak bisa dilepaskan dari kemunafikan pemeluk agama itu sendiri. Kita yang mengaku percaya akan Tuhan dan mengikuti ajaran kebenaran menurut keyakinan masing-masing justru bertengkar dan bahkan saling membenci atas dasar perbedaan dan semangat untuk menunjukkan siapa yang paling benar di antara kita.
Perdebatan antar pemeluk agama yang membingungkan justru adalah sumber dari banyaknya keraguan yang muncul di antara generasi sekarang yang jauh lebih tertarik dengan sesuatu yang nyata dan konkrit.
Perpecahan agama dalam sejarah bisa ditarik 4.200 tahun yang lalu di Mesopotamia sewaktu manusia ‘dikacaukan’ secara bahasa karena ingin membuat menara yang menjulang tinggi sebagai ganti Tuhan; mereka akhirnya dicerai-beraikan menjadi bangsa dan bahasa sekaligus agama yang berbeda, namun memiliki konsep yang sama tentang kuasa yang transenden, yakni Tuhan (Kejadian 11:1-9).
Dasar kepercayaan yang sama inilah semestinya menjadi celah bagi manusia untuk mencari kesamaan dalam cara berpikir. Tentunya bukan untuk mempersatukan karena sejarah menunjukkan tidak pernah ada gerakan yang berhasil menuju persatuan agama-agama dunia secara institusi.
Ibarat induk ayam yang selalu membuka sayapnya untuk melindungi anak-anaknya, Tuhan memanggil kita untuk sebuah misi kemanusiaan; melindungi yang lemah tanpa harus melihat perbedaan. Masing-masing kita punya sejarah kelam di masa lalu.
Tuhan terbuka untuk semua umat manusia. Bahkan, Ia tidak pernah memberikan sinar matahari hanya untuk orang yang ia cintai. Setiap pagi, berkas cahaya kehidupan melingkupi semua manusia tanpa memandang agama, golongan, bahkan untuk seorang atheis sekali pun. Ia tak pernah menahan berkah-Nya.